Dapat dolar gratiss.. tak kasih tau carane yo

Senin, 20 April 2009

TEORY BELAJAR

A. Teory Asosiasi Stimulus- Respon
Watson (1930) diakui sebagai pendiri behaviorisme, peletak dasar filsafat bagai teori Stimulus-Respon. Keyakinan aliran behaviorisme tentang kemapuhan stimulus yang terorganisasi, terungkap dari pernyataan Watson sebagai berikut : “ Berikan pada saya selusin anak bayi yang sehat dan normal fisiknya, dan dunia keahlian saya mengembangkan mereka dan saya akan menjamin untuk mengambil setiap mereka secara acak dan melatihnya untuk menjadi berbagai tipe ahli yang saya inginkan “. Pernyataan tersebut menunjukkan betapa optimis para penganut behaviorisme , bahwa seseorang bisa dibentuk jadi apa saja asal rangsang untuk membentuk mereka benar—benar terprogram dengan baik.
Prinsip di atas akan lebih jelas apabila kita pahami prinsip dasar dari teori itu sendiri yang terdiri dari elemen Stimulus – Respon (S-R). Model tersebut menunjukkan bahwa stimulus berkaitan langsung dengan respon tertentu. Pernyataan ini menggambarkan bahwa pertautan (koneksi) antar stimulus dan respon akan terjadi secara otomatis. Kebanyakan perilaku bawaan atau perilaku yang tak dipelajri cenderung mendukung kecenderungan tersebut. Sebagai contoh , pupil mata kit akan bereaksi secara otomatis terhadap cahaya yang kuat.
Masalahnya ialah apakah seornag mengaitkna stimulus dan respon, sehingga asosiasi antara kedua elemen tersebut terjalin menjadi satu hubungan sebaba-akibat, di mana stimulus tertentu akan diiikuti oleh respon tertentu secar otomatis. Hal ini sejalan dengan tujuan akhir belajar ketrampilan motorik ialah kemampuan untuk memperagakan ketrampilan secara otomatis. Atas dasar asumsi ini, belajar ketrampilan gerak dipahami sebagai pembentukan koneksi antara stimulus dan respon motorik. Berkaitan dengan proses pembentukan koneksi tersebut para psikolog kemudian memahami, pembentukan pertautan antara stimulus respon tak berlangsung secara otomati, tetapi merupakan hasil dari pemikiran sang pelajar.
Untuk selanjutnya teori Asosiasi Stimulus Respon dibagi 4 yaitu :


1. Teori Koneksionis Thorndike
Edward Thorndike (1874-1949) mengembangkan teori-teori dan prinsip-prinsip sebagai pendekatan ilmiah dalam pemecahan masalah pendidikan. Sebagian besar teorinya dikembangkan berdasarkan data yang diperoleh dari hasil penelitian terhadap perilaku belajar hewan yang lebih rendah dan tingkatannya dan gejala belajar “mencoba dan salah” (trial and error) pada manusia.
Asumsi dasar tentang belajar yang dikembangkan oleh Trondike pada permulaan tulisannya ialah asosiasi antara kesan yang diperoleh dari alat indra dan impuls untuk berbuat (respon). Asosiasi keduanya dikenal sebagai “bond” atau “koneksi” sehingga teorinya disebut koneksionisme atau bond psycology.
Setelah melakukan penelitian Thorndike percaya bahwa penguasaan pengetahuan atau ketrampilan memerlukan pengembangan pertautan antara stimulus dan respon yang serasi. Hasil dari penemuan Thorndike disintesis sehingga disusun sejumlah prinsip belajar “trial dan error”. Diantara prinsip tersebut dipaparkan oleh Oxedine (1986,1984) sebagai berikut :
1. Pada awal belajar, sedikit sekali keberhasilan yang diperoleh di antara berbagai macam kegiatan.
2. Sukses pertama itu agaknya lebih bersifat kebetulan dan masih belum nampak asosiasi antara stimulus dan respon yang diharapkan.
3. Respon yang salah dan aktivitas yang tak bermanfaat lambat laun semakin berkurang.
4. Si pelajar semakin sadar akan koneksi antara stimulus dan respon, dan kemudian dia memperoleh pengertian atau “feeling”tentang tindakan ang tepat.
5. Latihan memperkuat respon yang tepat dan tindakan atau gerakan menjadi semakin efisien.
Thorndike menekankan tiga spek penting dari belajar. Istilah aslinya ialah readiness, exercise dan effect. Sehingga dikenal Law of Readiness, Law of Exercis dan Low of Effect.
1. Law of Readiness
Hukum ini menyatakan bahwa belajar akan berlangsung paling efektif jika siswa yang bersangkutan telah siap unutk memberikan respon (Oxidene, 1968, 1984).
Dengan kata lain hukum kesiapan Thorndike itu adalah semacam hukum tentang kesiapan untuk menyesuaikan diri dengan stimulus (Hilgrad dan Bower,1997)
2. Low of Exercise
Hukum ini menyatakan bahwa dengan mengulang-ulang respon tertentu sampai beberapa kali akan memperkuat koneksi antara stimulus dan respon. Pertautan yang erat itu akan dikembangkan dan diperkuat melalui pengulangan yang memadai jumlahnya. Dengan kata lain, koneksi tersebut tadi akan menjadi lemah atau lupa kan terjadi jika latihan tidak diteruskan. Karena itu istilah penguatan di sini berarti peningkatan probabilitas bahwa respons tertentu akan diberikan jika situasi yang sama terjadi kembali. Secara singkat dapat dikatakan Low of Exercise adalah bahwa kegiatan berlatih akan membuat hasil belajar makin dikuasai atau makin sempurna.
3. Low of Effect
Hukum “effect “ dianggap sebagai hukum yang paling penting. Hukum effect ini diartikan sebagai berikut penguatan atau melemahnya suatu koneksi merupakan hasil dari konsekuensinya.(Hilgard & Bower.1977).
Menurut hukum effect, koneksi antara elemen Stimulus-Respon(S-R) akan diperkuat jika dialami pengalaman yang menyengkan.
Thorndike juga mengatakan, jika suatu respon diikuti oleh pengalaman yang tidak menyenagkan atau tak memuaskan, konsekuensinya antara S-R menjadi lemah. Namun demikian pada tahap selanjutnya Thorndike menata kembali hukum effect tersebut dengan menjelaskan bahwa amat sering suatu pengalaman yang tidak menyenangkan akan selalu teringat.Contonya jika kita amati kenyataan dalam olahraga, pengalaman pahit seperti kehilangan peluang untuk memenangkan suatu pertandingan penting karena kesalahan kecil dalam manuver taktik akan dikenang terus oleh pemain. Untuk selanjutnya, pemain yang bersabngkutan tak akan melakukan manuver taktik semacam itu.

2. Teori Contiguity dari Guthrie
Edwin R Gutrhie (1886-1959) mengembangkan teori “contiguity” yang menekankan asosiasi antara stimulus dan respons. Guthrie percaya bahwa respon yang didahului atau diiikuti oleh suatu stimulus atau kombinasi suatu rangsangan akan diulang manakala stimulus atau kombinasi rangsangan diulang.
Prinsip pokok teori Guthrie: pertama, rangsang dan gerakan adalah suatu kombinasi; stimulus berasosiasi dengan respons. Kedua, stu pola stimulus akn memperoleh kekuatan asosiasi yang paling kuat saat terjadi koneksi pertama kali dengan respons yang bersangkutan.
Guthrie berpendapt bahwa koneksi rangsang antar stimulus dan rangsang tercipta sepenuhnya pada percobaan atau trial yang pertama (Oxedine, 1968, 1984). Penguasaan suatu ketarampilan baru akan diperoleh malalui repetisi yang mana setiap fase latian mengembangkan kaitan stimulus-respons. Respons yang benar dikembangkan pada saat siswa bersangkutan mampu mangasosiasi respon yang serasi dengan ‘kunci’ gerakan yang benar. Menurut teori Guthrie drill itu berguna untuk melakikan banyak respons yang tepat dan benar.
Pada dasarnya teori Guthrie mangikuti konsep dasr yang dikembangkan oleh Thhorndike, namun penafsiran mereka terhadap belajar berbeda. Perbadaan antara keduanya ialah, bahwa Thordike sangat menekankan skor dari tugas yang dipelajari atau respons yang tepat semwntara Guthrie lebih menekankan pada geakn organisme yng bersangkutan tanpa memprhatikan gerakan itu membawa hasil baik atau tidak. Higlgard Dan Bower (1977) menjelaskan bahwa semakin bermacam-macam gerakan yang di butuhkan untuk melakukan suatu ketrampilan dan semakin bervariasi kunci-kunci penting yang harus menyatu dengan semua gerakan itu, maka semakin banyak latian dibutuhkan.
Guthrie beranggapan, balajar seumpama suatu proses yabg berlangsung dalam sebuah kotak yang tidak terlihat isinya dari luar sehingga gejala belajar tak sepenuhnya dapat dipahami oleh pendekantan ilmiah. Dia juga berpendapat bahwa motivasi bukan factor penting dalam proses belajar, karena kaitan antar stimulus –respons.

3. Teori Reinforcement dari Hull
Clrak l.hull adalah teori stimulus – respon yang menekankan pentingya reduksi dorongan sebagai factor paling utama dalam belajar. Kebutuhan organisme direalisasikan dalam suatu dorongan (drive). Tesis hall menyatakan, sebuah stimulus akan menyebabkan terjadinya respons yang terwujud berupa dorongan. Dorongan tersebut membangkitkan terjadinya respons oleh organisme yang berakir jika dorongan itu berkurang. Pengurangan dorongan reinforcement yang mengembangkan kebiasaan atau belajar.
Inti dari teori hull adalah bahwa koneksi stimulus – respons bersifat mekanistik untuk membentuk kebiasaan, reinforcement juga merupakan unsure pemuas, menyusul terjadinya respons. Teori hill berpengaruh terhadap pengorganisasian program belajar yang mesti dirancang untuk memenuhi kebutuhan siswa, karena pengurangan dorongan adalah reinforcement yang mengembangkan kebiasaan, program pendidikan harus berdasarkan kebutuhan siswa.
Sehubungan dengan prinsip transfer, hull berpendapat bahwa rangsang tak harus benar-benar sama untuk menghasilkan respons yang sama pula.pengulangan tugas ajar terus menerus akan menimbulkan inhibisi. Semakin sering tugas ajar itu dilkukan, semakin kuat keangganan untuk untuk mengulangi tugas ajar yang bersangkutan.jadi, intibisi itu prosesnya seiring dengan jumlah waktu . karena itu belajar bukan merupakan akibat dari jumlah latihan,tapi berganung pada reinforcement ( reduksi dorongan ). Agar efektif, latihan harus dilakukan dalam keadaan siswa memiliki fisiologis dan psikologis.









4. Operant Conditioning dari Skinner
B.F Skinner mengembangkan teory yang menekankan pentingnya reinforcement dari respon sebagai faktor yang paling menentukan dalam belajar. Dalam belajar ketrampilna motorik, teori skinner memiliki dampak yang kuat, teorinya disebut operant conditioning yang artinya proses belajar yang menyebabkan respon makin sering terjadi dengan cara memberikan reinforcement atau penguat terhadap tindakan yang diharapkan yang diharapkan. Dapat ditambahkan sebuah reinforce yang merupakan unsur penguat jika unsur itu meninkatkan peluang terjadinya respon.
Menurut teori Skinner unsur penguat itu terbagi menjadi 2 macam :
1. Unsur penguat positif
Kalau penyaji suatu kejadian yang mengikuti sebuah operan meningkatkan kemungkinan bagi operan itu untuk muncul dalam situasi yang sama, maka disebut proses dan konsekuensi disebut penguat positif. Konsekuensi atau akibat yang ditimbulkan juga disebut penguat yang positif.Penggunaan kata benda “penguatan” digunakan karena frekuensi dari perilaku yang mendahului konsekuensi mungkin diperkuat oleh atensi / perhatian yang diperintahkan.
Contohnya yaitu dengan memuji-muji seorang anak yang sangat menolong merapikan rumah, adalah satu contoh penguatan positif sehingga kemungkinan pujian itu membuat anak tersebut semakin besar kemungkinan untuk membantu membetulkan rumah.


2. Unsur penguat negatif
Kalau penghapusan suatu kejadian yang mengikuti sebuah operan meninggikan kemungkinan bahwa operan akan muncul dalam situasi yang sama, maka untuk proses dan konsekuensi yang muncul dinamakan penguatan negatif. Konsekuensi atau akibat yang ditimbulkan juga dinamakan penguat negatif.
Penguatan negatif in dibagi menjadi 2 yaitu :
1. Kondisioning lari / escape
Selam terjadi kondisioning melarikan diri, frekuensi dari operan ditingkatkan di bawah pengaruh keadaan yang sama, karen ahal itu akan menghentikan kejadian yang berjalan terus.
Contohnya yaitu kebiasaan-kebiasaan menutupi telinga ketika terdengar suara guntur dan halilintar, membersihkan ruangan karena tidak mau dicaci orang lain.
2. Kondisioning menghindar
Selama terjadiny akondisioning menghindar, frekuensi dari operan menjadi naik/tinggi dalam satu keadaan tertentu, karena operan itu menunda atau mencegah munculnya satu kejadian (yang dianggap tidak menyenangkan) .
Contonya : Seornag anak dapat menghindarkan diri dari teguran ayahnya mengenai ketidakmampuannya di kelas dengan cara meninggalkan kertas ulangannya di sekolah


















2. Teory Sign-Gestalt dari Tolman
Edward C. Tolman dikenal sebagai tokoh teory gestalt. Konsep penting yang dikembangkan tolman adalah ide tentang persepsi dan penerapannya dalam pendidikan. Konsep utama Tolman adalah sign-Gestalt yang beart I pengorganisasian atau pembentukan pola rangsang yang bertindak sebagai tuntutan atau petunjuk bagi si pelajar.
Menurut Tolman, si pelajar berbuat untuk mencapai tujuan atau mengikuti petunjuk rambu-rambu untuk mencapai tujuannya. Tolman juga menekankan bahwa manusia tidak bereaksi secara otomatis dan pasif terhadap rangsang. Dia berpendapat, manusia berfikir ketika mengorganisasi rangsang. Karena itu, intelegensi manusia sangat penting. Dia juga berpendapat bahwa tria dan error merupakan ciri ynag melekat pada kegiatan latihan. Si pelajar mencoba mencari jalan yang berbeda-beda untuk memecahkan masalah. Karena itu, Tolman menganjurkan bahwa mental practice merupakna satu cara belajar yang penting pad semua tipe belajar. Tolman menerima prinsip hadiah dan hukuman sebagai faktor penting untuk mendorong kegiatan belajar. Terutama untuk merangsang kegiatannya agar lebih giat atau meneruskan aktivitasnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar